KEDUDUKAN PETANI SEBAGAI PRODUSEN
Pertanian secara luas melingkupi perikanan,
pertanian pangan, kehutanan, dan peternakan. Sebagai tolak ukur ketahanan
pangan suatu negara pertanian mampu mencerminkan standar hidup dari sebuah
negara agraris seperti Indonesia. Inilah negeri yang sebagian besar mata
pencarian penduduknya adalah beragraris, mengolah hasil lahan yang melimpah.
Namun mirisnya para petani itu hanya sedikit yang bisa makmur sejahtera atas
hasil kerjanya.
Dalam pandangan kapitalis-liberalis murni, sektor
pertanian dipandang sebagai komoditas yang tunduk pada hukum permintaan,
penawaran, harga, dan keuntungan (Krisnamurthi, 2006). Pandangan seperti ini
menempatkan produk pertanian sebagai produk yang murah, sehingga petani hanya
mampu bertindak sebagai price taker. Harga akan diatur oleh besarnya permintaan
dan penawaran, artinya naik turunnya harga dikendalikan oleh jumlah komoditas
pertanian yang tersedia di pasar dan permintaan konsumen pertanian terhadap
komoditas tersebut. Contohnya adalah petani bawang putih suatu saat akan
mengalami kerugian akibat merosotnya harga yang disebabkan oleh melimpahnya
komoditas bawang putih di pasar, sedangkan jumlah pembeli untuk komoditas
bawang putih tetap.
Sebagai contoh lain pada perum bulog, dimana
keterbatasan kemampuan perum bulog untuk berhubungan langsung dengan petani dan
hanya berhubungan dengan mitra usahanya yaitu para pedagang besar atau pedagang
pengumpul, maka hal ini juga menyebabkan para pedagang pengumpul menjadi
penentu harga (price maker), sedangkan petani hanya berperan sebagai penerima
harga (price taker).
Petani kita sebagai price taker dalam menjual hasil produksi
pada komoditas pertanian, petani kita tidak mampu menentukan harga jualnya yang
sekiranya dapat memberikan keuntungan. Karakteristik komoditas pertanian yang
tidak tahan lama dan pertanian membutuhkan modal untuk masa tanam berikutnya
sehingga posisi tawar petani tidak kuat. Apalagi karakteristik supply komoditas
pertanian yang cenderung musiman, hanya tinggi/banyak pada saat musim panen
akibatnya harga rendah pada saat itu. Hal ini disebabkan karena terdesak oleh
kebutuhan biaya hidup keluarganya dan terkena harga jual yang rendah.
Banyaknya jumlah petani dibandingkan dengan jumlah
pedagang pengumpul, adanya ketergantugan modal kerja dengan pedagangan yang
bersangkutan terutama dalam kegiatan pengolahan dan minimnya informasi yang
dimiliki petani pengolah terkait dengan perkembangan harga mengakibatkan petani
cenderung menjadi pihak penerima harga (price taker) sesuai dengan harga yang
telah ditetapkan oleh pedagang pengumpul dan daya tawar petani dalam menentukan
harga relative rendah.
Pembahasan RUU tentang perubahan atas Undang-Undang
Nomor 9 tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang. System resi tawar gudang dibuat
dengan tujuan memperkuat posisi tawar petani dari price taker menjadi price
maker komoditas pertanian. Dengan system ini petani dapat memiliki pilihan
untuk menunda penjualan hasil panennya dan menunggu untuk mendapat harga yang
lebih baik. Dimana seperti kita ketahui bahwa posisi petani seringkali tidak
diuntungkan sebagai price taker.
Keadaan petani sebagai price taker membuat tidak
berdayanya petani dan sulit untuk meningkatkan kinerja pertanian yang dapat
menguntungkan dalam permbangunan pertanian di tambah lagi dengan program
pemerintah yang mengambil langkah utnuk mengimpor hasil pertanian sehingga
harga dari produk pertanian susah untuk di angkat dan para petani pun tidak
bisa melawan dengan menjadi price maker.
Kalau kita perhatikan pada sector pertanian di
lapangan, sebuah program pemerintahan yaitu
system resi tawar yang ada pada RUU tidak terlihat berjalan sesuai
dengan semestinya. Masih banyak dari petani yang belum mencapai kesejahteraan
hidupnya karena pendapatan dari sector pertanian rendah dan petani hanya bisa
menerima harga yang telah ditetapkan serta kebijakan pemerintah yang tidak
membantu petani dimana harga pembelian pemerintah yang selalu rendah, tidak
memihak kepada petani.
Referensi
:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar